• Jelajahi

    Copyright © wadaslintangcom
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Health

    Bucu Pendem Yang Melegenda Di Kumejing

    Wadaslintang
    , Jumat, Februari 02, 2024 WIB
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

    Bucu Pendem Khas  Kenduri Era Walisongo  Yang Melegenda  Di Kumejing


    Tradisi merayakan sebuah acara  dengan puncaknya makan nasi tumpeng masih banyak digemari di Banyak wilayah di Indonesia. Biasanya tradisi ini tradisi merayakan sebuah acara dengan puncaknya makan nasi tumpeng masih sangat digemari di dilakukan oleh masyarakat Jawa. 

    Dalam beberapa literatur, ternyata bentuk kerucut nasi tumpeng dan jenis lauk pauknya pun memiliki makna tersendiri. Pada mulanya, tumpeng digunakan masyarakat Jawa dan sekitarnya (termasuk Madura dan Bali), untuk membuat persembahan kepada gunung-gunung sebagai bentuk tanda penghormatan bahwa ada leluhur yang mendiami gunung-gunung tersebut. Hal ini terjadi sejak lama, jauh sebelum agama masuk ke Nusantara. Kemudian, agama Hindu masuk ke Indonesia. Perayaan dan pembuatan tumpeng mengalami sedikit perubahan, yaitu dari bentuk nasinya. Nasi tumpeng baru mulai dibuat kerucut ketika era Hindu. 
    Kerucut merupakan tiruan bentuk gunung Mahameru sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewi mereka. Menurut KH.Agus Sunyoto, Bairawa Tantra mem-lima. Malima di sini bukan seperti yang kita kenal sekarang namun malima menurut ajaran Bairawa Tantra adalah (seksual), dan mudra (semedi). Selanjutnya penganut Bai-membuat lingkaran yang dikenal dengan istilah Ksetra. 

    Foto:jadesta.kemenparekraf.go.id

    Di tengah-tengahnya disediakan daging, ikan dan arak. Setelah makan-makan bersama mereka melakukan persetubuhan (maituna) beramai-ramai. Setelah itu mereka melakukan semedi. Lebih mengerikan lagi jika tingkatan dari para penganut Bairawa ini telah tinggi daging yang disediakan bukan lagi daging hewan namun daging manusia, ikannya ikan sura (hiu), sedang araknya diganti dengan darah manusia.

    Kedatangan Sunan Bonang atau Syekh Maulana Makhdum Ibrahim (lahir sekitar 1465 M) ke Kediri ini dalam rangka berdakwah dan mengajarkan Islam kepada masyarakat Kediri. Tentu ritual Bairawa Tantra sangat ber-tentangan dengan ajaran Islam yang melarang memakan binatang untuk persembahan, melarang hubungan seks bebas,dan melarang minum-minuman keras, apa lagi sampai ma-kan daging manusia dan meminum darahnya. Oleh karena itu Sunan Bonang membuat acara yang mirip dengan upacara Panca Makaranya Bairawa Tantra yaitu ia kumpulkan masyarakat yang pada saat itu laki-laki semua di sebuah tempat, kemudian disediakan makanan, kemudian Sunan Bonang mengajari mereka berdoa, setelah itu mereka makan bersama. Inilah yang akhirnya kita kenal dengan na-ma kenduri atau slametan. 

    Slametan dan kenduri, menurut Agus Sunyoto adalah untuk menyelamatkan penduduk decamakara aliran Tantrayana. "Untuk slamet ya harus sla-Jawa. Bentuknya membuat lingkaran seperti yang dilakukan bhairawa tantra," jelasnya.

    Untuk menandingi aliran Bairawa Sunan Bonang menggunakan gelar Sunan Wadat Cakrawati, karena pemimpin aliran Bairawa saat itu bergelar Cakra Iswara (Ca-kreswara). Sungguh sangat sempurna dakwah yang dipilih oleh Wali dari Tuban ini. Jika dulu aliran Bairawa Tantra di Kediri pada masa Raja Airlangga yang dipendekari oleh seorang janda dari Desa Girah yaitu Nyai Calon Arang yang menebar petaka di seluruh penjuru Kediri dapat dita-pendeta BairawaCakra Iswara yang menebar Panca makara Cakrawati dari Tuban dengan kendurinya. Masyarakat ter-nyata pun sangat respek dengan upacara yang baru dibuat oleh Sunan Bonang ini sehingga mereka melestarikannya hingga sampai sekarang.

    Untuk lauk pauk yang ada dalam nasi tumpeng seperti ingkung, konon ingkung berasal dari kata "bekungkung"atau posisi ayam tengkurap. Ini melambangkan filosofi bah-wa manusia sebaiknya menghindari sifat jelek yang ada pada ayam jago (jantan) misalnya sombong atau ingin me-nang sendiri. 

    Olahan bercita rasa tinggi dengan teknik me-masak penuh pengalaman lah yang membuat ingkung men-jadi sangat lezat dan nikmat disantap. Tidak lagi hanya menjadi tradisi, tetapi menjadi kuliner legendaris yang menjadi warisan generasi selanjutnya. Tingkat kesabaran yang tinggi dalam memasak lah yang membuat ingkung tidak hanya sekadar makanan. Ingkung mengajari filosofi hidup yang penuh kesabaran akan membuahkan hasil yang terbaik.

    Adanya bucu pendem yang sampai sekarang masih melegenda di desa Kumejing dan daerah daerah lain di sekitar Kumejing dalam acara-acara kenduri serta momentum acara selain kenduri. Bahkan bucu pendem khas Kumejing juga selalu siap sedia tersaji saat wisatawan yang datang dari berbagai daerah memesan makanan ini. 

    Tentunya bucu pendem tidak lepas dari percikan histori perjuangan panjang Sunan Bonang dan walisongo lainnya sebagai bentuk dakwah yang terkemas apik. jadi pada hakekatnya Kenduri atau selamatan bukanlah ajaran Hindu maupun Budha, namun ini adalah hasil dari ijtihad fiqih yang dilakukan oleh Sunan Bonang dan sunan-sunan yang lainnya dalam rangka berdakwah kepada masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Nusantara pada umumnya.

    Oleh : Ahmad Badrudin, untuk Kegiatan "Workshop Menulis Wadaslintang Keren, dalam rangka Festival Desa Wisata Tahun 2020"  
    *ditulis ulang: wadaslintang.com



    Komentar

    Tampilkan

    Tidak ada komentar:

    Untuk Anda